berapa gaji kamu, berapa gajiku
aku tak punya gaji!!!
Pendapatan DPR katanya hampir 15 juta per bulan. Gaji dewan gubernur Bank Indonesia di atas 150 jutaan per bulan. Gaji Presiden dan wakilnya sekitar 50 juta hingga 60 juta.
Fantastis memang. Bila dibanding dengan pendapatan petani, buruh kasar, apalagi para penganggur yang berserakan di seantero negeri yang jumlahnya hampir 15 % dari angkatan kerja. Paling-paling pendapatan para proletar itu nggak nyampe 1 juta perbulan.
Coba lihat para penerima gaji gede itu, mereka rata-rata hidup di ibu kota. Belum lagi para eksekutif perusahaan top. Putaran pendapatan tinggi tentunya hanya bisa ditemukan di pusat negeri.
Nah, pastinya mereka membelanjakan uangnya juga di ibukota. Jadi tak aneh, kalau banyak warga negeri yang berbondong-bondong pergi ke sana, sekedar untuk mendapat ludahan gaji para eksekutif itu.
Lalu dari mana DPR, boss BI, Presiden dan wakilnya dapat gaji? Ya dari negara, tapi negara dari mana uangnya? Ya dari rakyat. Rakyat yang mana? rakyat yang ada di desa-desa, yang pendapatannya nggak sampai sejuta tentunya.
Oooo, sebuah ironi, rakyat di desa kerja keras buat para pemimpinnya. Sementara pemimpin dapat kesejahteraan, tetap saja para buruh, petani, dan penganggur bersahabat dengan kemelaratan.
Ketika para pemimpin naik kendaraan mengilap menuju acara gala dinner, yang makanannya ala manca, rakyat negeri ini tidur lelap dengan perut keroncongan. Lalu tiba-tiba tanah roboh menimpa rumah mereka yang terbuat dari bambu. Binasalah mereka!!!
Uhhh, sebuah lawakan yang selalu berulang. Entah kapan akan berhenti.
Jadi apa yang diperlukan negeri ini, sebuah pemerataan? dari mana mulainnya. Semuanya sudah berebut, semuanya seperti singa dan serigala. Hukum rimba pun dipaksakan. Siapa kaya, siapa punya kenalan dengan pemegang sumber daya kekuasaan, dialah pemenangnya.
Hmmmm, jadilah yang lemah menjadi sirna di pusat pusaran nasib. Yang deras tanpa ampun melalap siapa saja yang tak punya pengait, untuk mempertahankan badan dari tarikan nasib buruk yang mematikan.
Jadi mau ke mana kita sekarang?
No comments:
Post a Comment