Monday, February 20, 2006

opposite Siti Nurbaya

biarkan aku ceritakan pada kalian tentang kisah sedih sejoli, yang tiba-tiba berdiri tembok kokoh diantara keduanya

Ari gadis manis berkerudung, yang baru lulus sebuah perguruan tinggi. Adalah adik satu tingkat Ari yang bernama Irwan, naksir padanya. Singkat cerita keduanya jadi pasangan. Meski masih kuliah, Irwan selalu setia, mengantar Ari ke mana hendak pergi. Cari kerja, mengikuti tes wawancara, sampai akhirnya Ari dapat kerja, Irwan tetap menjadi sopir pribadi bagi Ari. Saat Ari dapat pekerjaan di kota lain yang jaraknya 200 km, Irwan tetap berjuang antar jemput kekasihnya itu setiap akhir pekan.

Janji pun terucap, Irwan ingin segera lulus, bekerja dan mempersunting Ari, gadis pujaaannya. Karena memang tergolong cerdas, IP Kumulatif Irwan pada semester terakhirnya 3,98, tak sulit untuk cepat-cepat menyelesaikan kuliah, dan mendaftar ujian skripsi. Diantara teman seangkatannya, Irwan memang yang pertama kali yang akan menempuh ujian skripsi.

Satu hari, malam sebelum Irwan mengikuti ujian skripsi, datanglah ia ke rumah Ari. Di sana ternyata sudah menunggu ayah sang kekasih. Bincang-bincang antara calon menantu dan calon mertua itu banyak membahas soal keduanya.

Sampailah pembicaraan mengenai rencana pasangan itu. Dan berkatalah sang calon mertua. "Dalam perhitungan Jawa, anak nomor tiga dan nomor satu tak baik untuk berumah tangga,"katanya. Memang Ari adalah anak pertama, sedang Irwan anak ke tiga. Dalam perhitungan Jawa yang diyakini sang calon mertua, keduanya bakalan tak bisa bersatu. Pamali. Tabu untuk bersanding. Mungkin bila keduanya dipersatukan, hitungannya jadi angka 13, angka sial.

Tentunya, dengan segudang alasan, Irwan menolak argumen itu. "Dalam agama kita, tak ada pantangan semacam itu,"bantahnya.

Orang tua Ari, sang ayah, tetap bersikukuh. "Ari adalah anakku, yang kupelihara sejak lahir. Tapi bila kalian tetap ingin melanjutkan hubungan ini, sampai kapanpun aku takkan merestuinya."

Bagai disengat aliran listrik 220 volt, Irwan pun menentukan sikap. Tak ingin ganjalan hati orang tua menjadi bencana di kemudian hari, dia pun bersedia memenuhi keinginan ayah Ari. Rela berpisah dengannya malam itu juga. "Baiklah, semoga keputusan ini membawa kebahagian bagi dik Ari. Aku lebih baik berpisah dengannya, dari pada ia sengsara bersamaku nanti,"begitu ucapan tersendat Irwan kala itu.

Dengan diiringi rintihan kepedihan hati sang kekasih, dan derai airmata ibu, serta dua adik Ari, Irwan pamit.

Dalam hati Irwan hanya ada satu tujuan, besok adalah hari besarnya. Langkahnya ditentukan esok pagi, dihadapan para dosen penguji.
Ari baginya sudah menjadi bagian dari masa lalu.

Hasilnya Irwan memperoleh cumlaude, atas indeks prestasinya selama kuliah.
Sungguh satu ironi, seorang anak dengan kepandaian dan potensi seperti ini harus tersingkir dari belahan hatinya oleh satu kepercayaan kuno, yang tak pernah dia dapatkan selama bersekolah.


nah, sebuah cerita yang 99% fakta
nama-nama yang dipakai tentu saja kalian pikir sendiri kebenarannya.

jadi apa komentar kalian?

Thursday, February 16, 2006

sebulan lalu

wah dah satu bulan pas, aku nggak nulis di blog ini.
sebenarnya pengin sering2 nulis, tapi nggak sempat dan males lagi, he..he..

ini ada sebuah sajak

judulnya : makam puncak bukit

sebuah makam besar
di pucuk bukit kelam
memantulkan kenangan kebesaran

tentang kejayaan
tentang kemuliaan

letaknya

di atas punggung berkeringat
petani-petani yang tertimbun gabah mandul
akibat harga pupuk yang tak mau mendarat
karena alat navigasinya rusak
diserang beras impor negeri tetangga

kerabatnya

kini tiarap
ada yang dipenjara
ada yang kata dokter sakit
ada pula yang selingkuh dengan artis

makam besar di ujung bukit
isimu nanti
jasad raja dari abad lalu
yang terlupa karena roda
tlah menggelinding menggilas jasa