Beli Duit Pakai Duit
Praktek sunat
anggaran dan upeti untuk DPR sudah jadi kebiasaan di semua organisasi
pemerintahan pusat hingga daerah. Akibat kewenangan DPR yang terlalu
besar dalam mendistribusikan anggaran.
Bak dikejar
penagih hutang, bupati salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT)
ini harus main kucing-kucingan. Telepon genggam sering ia matikan.
Bahkan demi keamanan, nomor telepon pun diganti. Ada beberapa orang yang
sedang mencarinya. Tiap dua hari, mereka menghubungi sang bupati lewat
telepon.
Karena tak
bisa mengontak lewat telepon pribadi pak bupati, sebut saja namanya
Frans, itu para penagih ini pun kemudian menghubungi lewat nomor kantor.
“Namun staf yang menerima selalu menjawab 'Pak Bupati keluar' sesuai
arahan saya,” kata Frans.
Frans tidak
sedang dikejar-kejar debt collector, tapi sedang dicari seorang oknum
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat dari dua kementerian
di Jakarta. Menurut Frans, mereka ini sedang minta tambahan jatah fee
dan tali kasih atas jasa mereka memperjuangkan alokasi dana proyek
untuk kabupatennya. Padahal Frans sebelumnya sudah memberikan uang
sesuai dengan perjanjian di awal.
Aktivitas
Frans sebagai seorang kepala daerah pun terganggu. Dia menyesali, kenapa
harus ikut-ikutan main api dengan para pejabat dari pusat itu. Padahal,
awalnya, dia tidak tahu kalau ada jalur mudah mendapatkan dana
pembangunan. “Prosedur” ini ia peroleh dari dua temannya, bupati asal
Sulawesi dan Bali.
Tahun lalu,
Frans bertemu keduanya dalam sebuah rapat kerja di Jakarta. Mereka
menginformasikan seluk beluk mendapatkan alokasi dana proyek. “Merekalah
yang memberikan nomor saya kepada oknum anggota DPR dan pejabat
kementerian itu. Setelah saya kembali ke NTT mereka langsung telepon
saya, menawarkan paket konspirasi ini. Saya setuju dan ke Jakarta ,”
kata Frans.
Sesuai
permintaan, Frans mengajak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda), Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU), dan tiga rekanan
pengusaha ke Jakarta, sekitar Januari lalu. Mereka menginap di Hotel
Aston kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan nama orang lain yang sudah
diatur para kolega baru tersebut.
Setelah
bertemu di hotel, terjadi kesepakatan, bahwa akan ada alokasi dana
proyek hingga miliaran rupiah terkait proyek Percepatan Pembangunan
Infrasutruktur Daerah (DPPID), dan proyek pembangunan gedung olah raga.
Saat itu juga disepakati pemberian tali kasih Rp 500 juta, dan fee 5%
dari pagu angaran proyek tersebut. Dana tali kasih harus diserahkan di
awal, dan itu ditalangi tiga rekanan yang dibawa dari NTT. Tentu dengan
janji, mereka akan diberi paket proyek tersebut.
Nah, untuk
penyerahannya, orang pusat ini pun memberi instruksi khusus. Dimana
keesokan harinya, Kepala Bappeda dan Kadis PU tadi diminta datang ke
Plaza Senayan, untuk membeli dua buah kaus. Kemudian kaus yang sudah ada
di dalam kantong plastik dan diisi duit Rp 500 juta itu di bawa ke
kamar mandi. Di sana sudah ada utusan yang menerima paket istimewa itu.
Dan memang
cespleng. Setelah kembali ke NTT, alokasi dana yang sebelumnya
dibicarakan benar-benar diperoleh sesuai komitmen. “Kami berhasil
mendapatkan alokasi dana proyek belasan miliar dan saat ini proyeknya
sedang dikerjakan,” kata Frans. Ia menolak menyebutkan besaran bantuan
itu secara detail, agar tetap tersamar.
Maka tinggalah
memberi fee kepada sang anggota dewan dan pejabat dua kementerian itu.
Bupati Frans pun mengutus stafnya ke Surabaya bertemu kolega dari
Jakarta, untuk menyerahkan fee 5% tadi. “Penyerahan itu terlaksana di
Delta Plaza. Tata caranya seperti yang diberikan di Jakarta,” kata
Frans.
Namun, meski sudah diberi jatah, ternyata anggota DPR dan pejabat kementerian ini masih belum puas. Mereka meminta tambahan fee
dengan dalih untuk keperluan menteri. “Awalnya saya layani, menambah
dana Rp 200 juta untuk dua paket proyek dari dua kementrian tersebut.
Uang itu diantar staf saya ke Jakarta,” katanya.
Hanya saja,
setelah penyerahan dana tambahan fee itu, oknum anggota DPR dan pejabat
dua kementerian itu masih tetap minta tambahan, dan lagi-lagi dengan
alasan untuk keperluan menteri. “Rekanan saya angkat tangan dan terpaksa
menolak. Saya juga terpaksa menggantiSimcard,” kata Frans.
Meski harus
main kucing-kucingan, nasib Frans masih lebih baik dibanding koleganya
sesama bupati di NTT. Sebut saja namanya Mario. Dia sudah menyerahkan
dana tali kasih sebesar Rp 500 juta, plus tambahannya Rp 200 Juta. Oknum
DPR menjanjikan Februari 2012 sudah ada pagu dana dari dua kementerian.
Namun harapan
itu lenyap, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung datang. Alasan
yang diberikan, karena modus seperti ini sudah terdeteksi dan masyarakat
sudah mulai menyoroti. “Kami terpaksa gigit jari. Sebagai pelipur lara
mereka menjanjikan untuk tahun anggaran 2013 yang akan datang. Tapi saya
pesimis karena mereka sudah dipindahkan dan ada yang terangkut kasus
hukum,” kata Mario.
Yang membuat
Bupati Mario tambah pusing, ia harus “berhutang budi” kepada dua rekanan
yang telah menyediakan dana tali kasih sebesar Rp 700 juta itu, namun
gagal mendapatkan proyek. “Aku terpaksa beri mereka paket penunjukan
langsung sebesar Rp 120 juta, hanya sekedar untuk mengurangi kerugian
yang telah mereka berikan,” katanya.
Pajak “preman”
oknum DPR bukan hanya terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mulai
ramai dengan proyek pembangunan. Melainkan juga ada di daerah yang adem
ayem seperti di Jawa Tengah. Seorang pejabat di pemerintahan provinsi
ini menggambarkan praktek bancakan anggaran itu sebagai, “Tenang-tenang
tapi menghanyutkan.”
Menurutnya,
praktek kongkalikong orang DPR dan pemerintah daerah sudah menjadi
tradisi. Ini dilakukan oknum DPR di daerah yang menjadi daerah
pemilihannya (dapil). Biasanya sang oknum beralasan, upeti yang ditarik
dari dana pusat itu untuk memelihara konsituennya di daerah.
Praktek
lancung ini bisa subur karena juga melibatkan hampir semua pihak di
tingkat daerah. Mulai eksekutif, anggota dewan di daerah, hingga peserta
tender. Gaya bermain yang dipakai di daerah adalah bagi merata, semua
dikasih kue, semua menikmati. "Kodenya: hujan atau gerimis harus
merata,” papar sumber tersebut.
Proses
konspirasi ini bisa berlangsung dua arah. Oknum DPR bisa datang ke
daerah, juga sebaliknya orang daerah yang ke ibukota. Bila dimulai oknum
DPR, mereka menawarkan kepala daerah kucuran dana atau proyek. Kalaupun
menampik, biasanya kepala daerah tak langsung menolak. Ia bilang dulu,
“Ya, ya, ya,” kemudian komunikasi tak berlanjut.
Jika ditolak,
oknum DPR tidak lantas menguber-uber kepala daerah. Namun jika upaya
pertama sudah ada lampu hijau, selanjutnya terserah kedua belah pihak.
Biasanya tinggal kirim utusan dan berkomunikasi lewat ponsel. Caranya
lebih canggih, lebih halus. "Komunikasi cuma lewat kata-kata atau pesan
singkat: 'lagi?' 'dimaksimalkan saja', 'bisa nambah ga?'. Ini juga
terjadi di lain proyek atau tahun selanjutnya. Prakteknya, 'tahu sama
tahu',” katanya.
Sumber tadi
menyodorkan contoh baru bancakan anggaran di tahun 2012. Yaitu program
revitalisasi pasar tradisional. Padahal, sebenarmya pasar tradisional
hanya perlu perbaikan manajemen, tata kelola hingga kebersihan. Namun
ujung-ujungnya yang ditawarkan selalu pembangunan fisik. Pasar harus
dibongkar dan dibangun yang baru. Setelah dibangun, pasar yang dalam
perencanaan bisa tahan 8 tahun hingga 10 tahun itu, dalam satu tahun
sudah kembali kumuh.
Sebagai
gambaran, dana peremajaan pasar secara nasional sekitar Rp 400 milyar.
Di setiap titik pasar di tingkat kecamatan mendapat jatah proyek Rp 50
juta hingga Rp 70 juta. Mafia anggaran dari DPR pusat bisa memperoleh
6%. Dan besaran sunatan secara proporsional menurun sesuai tingkatan
penarik upetinya. “Fenomena ini lintas partai, kelompok kepentingan yang
disebut mafia anggaran, ” kata sumber itu.
Masalah upeti
bagi anggota dewan ini juga sudah jamak terjadi di instansi pemerintahan
pusat. Seorang mantan pejabat di sebuah kementerian menyebutkan, hampir
dalam setiap penurunan anggaran, ada dana khusus yang disisihkan buat
anggota dewan.
“Program-program
yang sifatnya block grant, mereka minta jatah 10% - 20% alokasi untuk
dibagi ke kabupaten kota dapil masing-masing anggota. Untuk program
pengadaan sarana dan prasarana fisik, mereka bawa rekanan untuk
dimenangkan dalam tender,” kata sumber itu. Bila tak dipenuhi
permintaannya, biasanya para anggota dewan ini ini mengamuk. “Sudah
pasti anggaran tahun berikutnya disunat,” tambahnya.
Tak hanya itu,
setiap pertemuan dengan komisi terkait di dewan, juga perlu disiapkan
dana oleh sebuah kementerian. Ongkos rapat kerja dan rapat dengar
pendapat dengan dewan ini dikumpulkan di sekretariat jenderal
kementerian tersebut lalu diserahkan sekretariat komisi DPR.
Dana tersebut
salah satunya untuk uang lelah bagi anggota komisi DPR, mencapai Rp 20
juta per orang. Dan bisa membengkak untuk biaya akomodasi dan konsumsi,
kalau misalnya kegiatan dilakukan di sebuah hotel di luar kota. “Dana
ini biasanya ditanggung renteng oleh unit-unit utama di kementerian
tersebut,” katanya.
Masih menurut
sumber tersebut, DPR sebenarnya punya anggaran untuk biaya rapat-rapat.
“Tapi, ya begitulah, kalau sudah merasa mereka punya kuasa, menjadikan
kita ada di bawah, dan mesti bayar upeti. Kita di tingkat pelaksana ya
ikut saja. Diminta iuran sekian-sekian bayar saja. Intinya, beli duit
pakai duit,” paparnya.
Penyakit sunat
menyunat anggaran dan permintaan upeti ini menurut Abdullah Dahlan,
Koordinator Bidang Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), akibat
kewenangan DPR yang sangat besar dalam mendistribusikan anggaran,
termasuk anggaran ke daerah. Pola transaksi bisa muncul karena DPR
memiliki informasi langsung atas sebuah kebijakan.
Maka informasi
ini yang sering diperdagangkan. Dimana seorang oknum DPR mencoba
mempengaruhi daerah agar mau mendapatkan besaran anggaran tertentu
melalui formula-formula tertentu. “Dari situ relasi terbangun. Kasus Wa
Ode mengonfirmasi hal ini,” kata Abdullah kepada Hayati Nupus dari
Gatra.
Kasus yang
menimpa Wa Ode Nurhayati, mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR
dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) adalah kasus terkait DPPID yang
sudah dibuktikan di pengadilan. Wa Ode sendiri oleh Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi (Tipikor) pada 18 Oktober lalu, divonis enam tahun
penjara karena terbukti melakukan dua perbuatan tindak pidana. Menerima
suap terkait pengalokasian DPPID, dan melakukan tindak pidana pencucian
uang atas kepemilikan uang sebesar Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya.
Dalam tindak
pidana suap, Wa Ode dianggap menerima pemberian hadiah atau janji berupa
uang senilai Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha, Fahd El Fouz, Paul
Nelwan, dan Abram Noch Mambu. Suap tersebut terkait upaya Wa Ode selaku
anggota Panita Kerja Transfer Daerah Badan Anggaran DPR dalam
mengupayakan Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan
Minahasa masuk dalam daftar daerah penerima alokasi DPPID 2011.
Contoh kasus
lain terkait kongkalingkong alokasi anggaran yang sedang dibuktikan di
pengadilan adalah kasus Angelina Sondakh. Anggota Badan Anggaran DPR ini
ditetapkan sebagai tersangka lantaran terkait jabatannya, ia diduga
menerima pemberian hadiah atau janji terkait penganggaran proyek Wisma
Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta proyek pengadaan sarana
dan prasarana pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional.
Yang paling
mengejutkan adalah kasus korupsi pengadaan Al Quran yang melibatkan
Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabbar.
Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Zulkarnaen dan putranya Dendy
Prasetya sebagai tersangka dengan sangkaan menerima suap lebih dari Rp
10 miliar terkait penganggaran proyek-proyek di Kementerian Agama tahun
2010 dan 2012.
Dari beberapa
contoh kasus itu, terlihat aspek kewenangan menggolkan anggaran oleh DPR
rawan disalahgunakan. Dan ini akan selalu melibatkan pihak-pihak yang
punya kepentingan dari orang daerah hingga DPR. Oknum sebuah kementerian
juga bisa ikut terlibat.
Khusus praktek
kotor memainkan anggaran di daerah, sudah terbangun dua jalur lobi ke
pusat, yaitu jalur politis dan pemerintahan. Jalur politis dilakukan
melalui lobi dengan DPR. Sementara jalur pemerintahan dilakukan melalui
komunikasi dengan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. “Dua jalur itu
semua dipakai,” kata Abdullah.
Yang membuat
penyakit ini tambah ganas, karena penyusunan anggaran tidak pernah
dibahas secara terbuka, hasil pembahasan pun tidak pernah disampaikan.
“Kalau pembahasannya terbuka dan hasilnya disampaikan, maka daerah akan
tahu jatahnya berapa, nggak perlu lobi lagi,” katanya. Pejabat daerah
sebetulnya bisa tahu jatahnya berapa dari data empiris potensi
daerahnya.
Bagi pejabat
daerah, seperti sumber GATRA yang sudah mengetahui praktek-praktek
kolusi ini sejak lama, aksi culas seperti ini akan sulit diberantas.
Karena tidak ada soliditas setiap pihak, terutama dari partai politik,
yang mau mengungkap dan menghentikan praktek ini. Bahkan laporan-laporan
dari pejabat publik seperti Dahlan Iskan, juga tak akan bisa
mempengaruhi praktek seperti ini.
Namun, untuk
mendeteksi adanya praktek kongkalikong mafia anggaran di daerah, menurut
sang sumber tadi, tidaklah susah. “Tinggal mencermati daerah mana yang
mendapat alokasi dana terus menerus beserta realisasinya,” ujarnya. Nah,
masyarakat kini tinggal periksa lalu laporkan.
Mukhlison S Widodo, Arif Koes Hernawan (Semarang), dan Antonius Un Taollin (Kupang)
Foto :
jppn.com
Gatra/Dharma Wijayanto
Gatra/Ardi Widiyansah
Laporan Utama majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012
No comments:
Post a Comment