Friday, November 09, 2012

Beli Duit Pakai Duit

Beli Duit Pakai Duit


Praktek sunat anggaran dan upeti untuk DPR sudah jadi kebiasaan di semua organisasi pemerintahan pusat hingga daerah. Akibat kewenangan DPR yang terlalu besar dalam mendistribusikan anggaran. 


Bak dikejar penagih hutang, bupati salah satu kabupaten di Nusa Tenggara Timur (NTT) ini harus main kucing-kucingan. Telepon genggam sering ia matikan. Bahkan demi keamanan, nomor telepon pun diganti. Ada beberapa orang yang sedang mencarinya. Tiap dua hari, mereka menghubungi sang bupati lewat telepon.

Karena tak bisa mengontak lewat telepon pribadi pak bupati, sebut saja namanya Frans, itu para penagih ini pun kemudian menghubungi lewat nomor kantor. “Namun staf yang menerima selalu menjawab 'Pak Bupati keluar' sesuai arahan saya,” kata Frans.


Frans tidak sedang dikejar-kejar debt collector, tapi sedang dicari seorang oknum anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat dari dua kementerian di Jakarta. Menurut Frans, mereka ini sedang minta tambahan jatah fee dan tali kasih atas jasa mereka memperjuangkan alokasi dana proyek untuk kabupatennya. Padahal Frans sebelumnya sudah memberikan uang sesuai dengan perjanjian di awal. 

Aktivitas Frans sebagai seorang kepala daerah pun terganggu. Dia menyesali, kenapa harus ikut-ikutan main api dengan para pejabat dari pusat itu. Padahal, awalnya, dia tidak tahu kalau ada jalur mudah  mendapatkan dana pembangunan. “Prosedur” ini ia peroleh dari dua temannya, bupati asal Sulawesi dan Bali.

Tahun lalu, Frans bertemu keduanya dalam sebuah rapat kerja di Jakarta. Mereka menginformasikan seluk beluk mendapatkan alokasi dana proyek. “Merekalah yang memberikan nomor saya kepada oknum anggota DPR dan pejabat kementerian itu. Setelah saya kembali ke NTT mereka langsung telepon saya, menawarkan paket konspirasi ini. Saya setuju dan ke Jakarta ,” kata Frans.

Sesuai permintaan, Frans mengajak Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda), Kepala Dinas Pekerjaan Umum (Kadis PU), dan tiga rekanan pengusaha ke Jakarta, sekitar Januari lalu. Mereka menginap di Hotel Aston kawasan Senen, Jakarta Pusat, dengan nama orang lain yang sudah diatur para kolega baru tersebut.

Setelah bertemu di hotel, terjadi kesepakatan, bahwa akan ada alokasi dana proyek hingga miliaran rupiah terkait proyek Percepatan Pembangunan Infrasutruktur Daerah (DPPID), dan proyek pembangunan gedung olah raga. Saat itu juga disepakati pemberian tali kasih Rp 500 juta, dan fee 5% dari pagu angaran proyek tersebut. Dana tali kasih harus diserahkan di awal, dan itu ditalangi tiga rekanan yang dibawa dari NTT. Tentu dengan janji, mereka akan diberi paket proyek tersebut.

Nah, untuk penyerahannya, orang pusat ini pun memberi instruksi khusus. Dimana keesokan harinya, Kepala Bappeda dan Kadis PU tadi diminta datang ke Plaza Senayan, untuk membeli dua buah kaus. Kemudian kaus yang sudah ada di dalam kantong plastik dan diisi duit Rp 500 juta itu di bawa ke kamar mandi. Di sana sudah ada utusan yang menerima paket istimewa itu.

Dan memang cespleng. Setelah kembali ke NTT, alokasi dana yang sebelumnya dibicarakan benar-benar diperoleh sesuai komitmen. “Kami berhasil mendapatkan alokasi dana proyek belasan miliar dan saat ini proyeknya sedang dikerjakan,” kata Frans. Ia menolak menyebutkan besaran bantuan itu secara detail, agar tetap tersamar.

Maka tinggalah memberi fee kepada sang anggota dewan dan pejabat  dua kementerian itu. Bupati Frans pun mengutus stafnya ke Surabaya bertemu kolega dari Jakarta, untuk menyerahkan fee 5% tadi. “Penyerahan itu terlaksana di Delta Plaza. Tata caranya seperti yang diberikan di Jakarta,” kata Frans.

Namun, meski sudah diberi jatah, ternyata anggota DPR dan pejabat kementerian ini masih belum puas. Mereka meminta tambahan fee dengan dalih untuk keperluan menteri. “Awalnya saya layani, menambah dana Rp 200 juta untuk dua paket proyek dari dua kementrian tersebut. Uang itu diantar staf saya ke Jakarta,” katanya.

Hanya saja, setelah penyerahan dana tambahan fee itu, oknum anggota DPR dan pejabat dua kementerian itu masih tetap minta tambahan, dan lagi-lagi dengan alasan untuk keperluan menteri. “Rekanan saya angkat tangan dan terpaksa menolak. Saya juga terpaksa menggantiSimcard,” kata Frans.

Meski harus main kucing-kucingan, nasib Frans masih lebih baik dibanding koleganya sesama bupati di NTT. Sebut saja namanya Mario. Dia sudah menyerahkan dana tali kasih sebesar Rp 500 juta, plus tambahannya Rp 200 Juta. Oknum DPR menjanjikan Februari 2012 sudah ada pagu dana dari dua kementerian.

Namun harapan itu lenyap, karena dana yang dijanjikan tidak kunjung datang. Alasan yang diberikan, karena modus seperti ini sudah terdeteksi dan masyarakat sudah mulai menyoroti. “Kami terpaksa gigit jari. Sebagai pelipur lara mereka menjanjikan untuk tahun anggaran 2013 yang akan datang. Tapi saya pesimis karena mereka sudah dipindahkan dan ada yang terangkut kasus hukum,” kata Mario.

Yang membuat Bupati Mario tambah pusing, ia harus “berhutang budi” kepada dua rekanan yang telah menyediakan dana tali kasih sebesar Rp 700 juta itu, namun gagal mendapatkan proyek. “Aku terpaksa beri mereka paket penunjukan langsung sebesar Rp 120 juta, hanya sekedar untuk mengurangi kerugian yang telah mereka berikan,” katanya.

Pajak “preman” oknum DPR bukan hanya terjadi di wilayah Indonesia Timur, yang mulai ramai dengan proyek pembangunan. Melainkan juga ada di daerah yang adem ayem seperti di Jawa Tengah. Seorang pejabat di pemerintahan provinsi ini menggambarkan praktek bancakan anggaran itu sebagai, “Tenang-tenang tapi menghanyutkan.”

Menurutnya, praktek kongkalikong orang DPR dan pemerintah daerah sudah menjadi tradisi. Ini dilakukan oknum DPR di daerah yang menjadi daerah pemilihannya (dapil). Biasanya sang oknum beralasan, upeti yang ditarik dari dana pusat itu untuk memelihara konsituennya di daerah.

Praktek lancung ini bisa subur karena juga melibatkan hampir semua pihak di tingkat daerah. Mulai eksekutif, anggota dewan di daerah, hingga peserta tender. Gaya bermain yang dipakai di daerah adalah bagi merata, semua dikasih kue, semua menikmati. "Kodenya: hujan atau gerimis harus merata,” papar sumber tersebut.

Proses konspirasi ini bisa berlangsung dua arah. Oknum DPR bisa datang ke daerah, juga sebaliknya orang daerah yang ke ibukota. Bila dimulai oknum DPR, mereka menawarkan kepala daerah kucuran dana atau proyek. Kalaupun menampik, biasanya kepala daerah tak langsung menolak. Ia bilang dulu, “Ya, ya, ya,” kemudian komunikasi tak berlanjut.

Jika ditolak, oknum DPR tidak lantas menguber-uber kepala daerah. Namun jika upaya pertama sudah ada lampu hijau, selanjutnya terserah kedua belah pihak. Biasanya tinggal kirim utusan dan berkomunikasi lewat ponsel. Caranya lebih canggih, lebih halus. "Komunikasi cuma lewat kata-kata atau pesan singkat: 'lagi?' 'dimaksimalkan saja', 'bisa nambah ga?'. Ini juga terjadi di lain proyek atau tahun selanjutnya. Prakteknya, 'tahu sama tahu',” katanya.

Sumber tadi menyodorkan contoh baru bancakan anggaran di tahun 2012. Yaitu program revitalisasi pasar tradisional. Padahal, sebenarmya pasar tradisional hanya perlu perbaikan manajemen, tata kelola hingga kebersihan. Namun ujung-ujungnya yang ditawarkan selalu pembangunan fisik. Pasar harus dibongkar dan dibangun yang baru. Setelah dibangun, pasar yang dalam perencanaan bisa tahan 8 tahun hingga 10 tahun itu, dalam satu tahun sudah kembali kumuh.

Sebagai gambaran, dana peremajaan pasar secara nasional sekitar Rp 400 milyar. Di setiap titik pasar di tingkat kecamatan mendapat jatah proyek Rp 50 juta hingga Rp 70 juta. Mafia anggaran dari DPR pusat bisa memperoleh 6%. Dan besaran sunatan secara proporsional menurun sesuai tingkatan penarik upetinya. “Fenomena ini lintas partai, kelompok kepentingan yang disebut mafia anggaran, ” kata sumber itu.

Masalah upeti bagi anggota dewan ini juga sudah jamak terjadi di instansi pemerintahan pusat. Seorang mantan pejabat di sebuah kementerian menyebutkan, hampir dalam setiap penurunan anggaran, ada dana khusus yang disisihkan buat anggota dewan.

“Program-program yang sifatnya block grant, mereka minta jatah 10% - 20% alokasi untuk dibagi ke kabupaten kota dapil masing-masing anggota. Untuk program pengadaan sarana dan prasarana fisik, mereka bawa rekanan untuk dimenangkan dalam tender,” kata sumber itu. Bila tak dipenuhi permintaannya, biasanya para anggota dewan ini ini mengamuk. “Sudah pasti anggaran tahun berikutnya disunat,” tambahnya.

Tak hanya itu, setiap pertemuan dengan komisi terkait di dewan, juga perlu disiapkan dana oleh sebuah kementerian. Ongkos rapat kerja dan rapat dengar pendapat dengan dewan ini dikumpulkan di sekretariat jenderal kementerian tersebut lalu diserahkan sekretariat komisi DPR. 

Dana tersebut salah satunya untuk uang lelah bagi anggota komisi DPR, mencapai Rp 20 juta per orang. Dan bisa membengkak untuk biaya akomodasi dan konsumsi, kalau misalnya kegiatan dilakukan di sebuah hotel di luar kota. “Dana ini biasanya ditanggung renteng oleh unit-unit utama di kementerian tersebut,” katanya.

Masih menurut sumber tersebut, DPR sebenarnya punya anggaran untuk biaya rapat-rapat. “Tapi, ya begitulah, kalau sudah merasa mereka punya kuasa, menjadikan kita ada di bawah, dan mesti bayar upeti. Kita di tingkat pelaksana ya ikut saja. Diminta iuran sekian-sekian bayar saja. Intinya, beli duit pakai duit,” paparnya.  

Penyakit sunat menyunat anggaran dan permintaan upeti ini menurut Abdullah Dahlan, Koordinator Bidang Politik Indonesian Corruption Watch (ICW), akibat kewenangan DPR yang sangat besar dalam mendistribusikan anggaran, termasuk anggaran ke daerah. Pola transaksi  bisa muncul karena DPR memiliki informasi langsung atas sebuah kebijakan.

Maka informasi ini yang sering diperdagangkan. Dimana seorang oknum DPR mencoba mempengaruhi daerah agar mau mendapatkan besaran anggaran tertentu melalui formula-formula tertentu. “Dari situ relasi terbangun. Kasus Wa Ode mengonfirmasi hal ini,” kata Abdullah kepada Hayati Nupus dari Gatra. 

Kasus yang menimpa Wa Ode Nurhayati, mantan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) adalah kasus terkait DPPID yang sudah dibuktikan di pengadilan. Wa Ode sendiri oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada 18 Oktober lalu, divonis enam tahun penjara karena terbukti melakukan dua perbuatan tindak pidana. Menerima suap terkait pengalokasian DPPID, dan melakukan tindak pidana pencucian uang atas kepemilikan uang sebesar Rp 50,5 miliar dalam rekeningnya.

Dalam tindak pidana suap, Wa Ode dianggap menerima pemberian hadiah atau janji berupa uang senilai Rp 6,25 miliar dari tiga pengusaha, Fahd El Fouz, Paul Nelwan, dan Abram Noch Mambu. Suap tersebut terkait  upaya Wa Ode selaku anggota Panita Kerja Transfer Daerah Badan Anggaran DPR dalam mengupayakan Kabupaten Aceh Besar, Pidie Jaya, Bener Meriah, dan Minahasa masuk dalam daftar daerah penerima alokasi DPPID 2011.

Contoh kasus lain terkait kongkalingkong alokasi anggaran yang sedang dibuktikan di pengadilan adalah kasus Angelina Sondakh. Anggota Badan Anggaran DPR ini ditetapkan sebagai tersangka lantaran terkait jabatannya, ia diduga menerima pemberian hadiah atau janji terkait penganggaran proyek Wisma Atlet di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta proyek pengadaan sarana dan prasarana pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional.

Yang paling mengejutkan adalah kasus korupsi pengadaan Al Quran yang melibatkan Anggota Komisi VIII DPR dari Fraksi Partai Golkar, Zulkarnaen Djabbar. Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Zulkarnaen dan putranya Dendy Prasetya sebagai tersangka dengan sangkaan menerima suap lebih dari Rp 10 miliar terkait penganggaran proyek-proyek di Kementerian Agama tahun 2010 dan 2012.

Dari beberapa contoh kasus itu, terlihat aspek kewenangan menggolkan anggaran oleh DPR rawan disalahgunakan. Dan ini akan selalu melibatkan pihak-pihak yang punya kepentingan dari orang daerah hingga DPR. Oknum sebuah kementerian juga bisa ikut terlibat.

Khusus praktek kotor memainkan anggaran di daerah, sudah terbangun dua jalur lobi ke pusat, yaitu jalur politis dan pemerintahan. Jalur politis dilakukan melalui lobi dengan DPR. Sementara jalur pemerintahan dilakukan melalui komunikasi dengan pemerintahan, baik pusat maupun daerah. “Dua jalur itu semua dipakai,” kata Abdullah.

Yang membuat penyakit ini tambah ganas, karena penyusunan anggaran tidak pernah dibahas secara terbuka, hasil pembahasan pun tidak pernah disampaikan. “Kalau pembahasannya terbuka dan hasilnya disampaikan, maka daerah akan tahu jatahnya berapa, nggak perlu lobi lagi,” katanya. Pejabat daerah sebetulnya bisa tahu jatahnya berapa dari data empiris potensi daerahnya.

Bagi pejabat daerah, seperti sumber GATRA yang sudah mengetahui praktek-praktek kolusi ini sejak lama, aksi culas seperti ini akan sulit diberantas. Karena tidak ada soliditas setiap pihak, terutama dari partai politik, yang mau mengungkap dan menghentikan praktek ini. Bahkan laporan-laporan dari pejabat publik seperti Dahlan Iskan, juga tak akan bisa mempengaruhi praktek seperti ini.

Namun, untuk mendeteksi adanya praktek kongkalikong mafia anggaran di daerah, menurut sang sumber tadi, tidaklah susah. “Tinggal mencermati daerah mana yang mendapat alokasi dana terus menerus beserta realisasinya,” ujarnya. Nah, masyarakat kini tinggal periksa lalu laporkan.

Mukhlison S Widodo, Arif Koes Hernawan (Semarang), dan Antonius Un Taollin (Kupang)    
 
 Foto : 
jppn.com
Gatra/Dharma Wijayanto
Gatra/Ardi Widiyansah
 
Laporan Utama majalah GATRA edisi 19/01, terbit Kamis 8 Nopember 2012

No comments: