Thursday, November 15, 2012

Suling Bambu Pemersatu Maluku



Suling Bambu Pemersatu Maluku 

Orkestra suling bambu di Ambon berusaha melestarikan budaya Maluku yang hampir punah. Menjunjung tinggi kedisiplinan, meski sudah tenar. Bermimpi bisa mandiri.



Konduktor Maynard Raynolds Nathanael Alfons memberikan aba-aba. Dua tangannya menengadah di depan dada, lalu seiring dengan gerakan tangannya, para musisi yang berada di depan panggung Aula Taman Budaya Kota Ambon itu memainkan komposisi St. Elmo`s Fire, karya David Foster. Nuansa romantis yang dibangkitkan tambah dalam, karena suara utama yang keluar dari kelompok simfoni itu berasal dari suling bambu.

Ya, orkestrasi yang digelar sebagai salah satu bagian acara Pesta Teluk Ambon, pada 27 September lalu itu, memang bukan layaknya orkestra modern. Karena tak menggunakan alat musik standar, seperti biola dan selo dalam membangun komposisi. Malam itu, para musisi Ambon yang tergabung dalam Molucca Bamboo Wind Orchestra ini, membentuk orkestrasi dari suling bambu khas daerah mereka.

Maka, ketika malam tambah larut, kelompok musisi ini lalu memainkan lagu Maluku, Rasa Sayange. Ratusan penonton pun menyambut dengan tepuk tangan bergemuruh. Suling bambu Maluku memang beda. Tak seperti suling bambu dari Jawa yang memiliki skala nada pentatonik, lima not per oktaf, suling Maluku mengadopsi skala diatonik, persis alat musik Barat.

Ini membuat suling bambu Maluku mudah memainkan komposisi lagu barat modern maupun klasik. Namun, menurut Rence, panggilan keseharian Maynard Raynolds Nathanael Alfons, suling bambu Maluku hampir punah. "Cuma di beberapa tempat saja masih dimainkan, itu pun sekadarnya," katanya kepada Jennar Kiansantang dari Gatra.

Padahal, dulu, suling bambu Maluku kerap dipakai masyarakat untuk mengiringi liturgi di gereja. Memang suling bambu punya sejarah panjang di sana. Berdasarkan cerita mulut ke mulut, suling bambu dikenalkan Joseph Kam, penginjil asal Belanda, yang datang ke Ambon awal abad ke-16. "Dia punya latar belakang musik flute, mungkin di sini banyak pohon bambu, jadi yang dikembangkan suling bambu," Rence menjelaskan. Tapi, kebiasaan memainkan alat musik ini kini benar-benar mulai punah.


Kenyataan itu membuat Rence mulai menyemai harapan melestarikan suling bambu Maluku sejak 2005 silam. Lulusan ilmu musikologi Insitut Seni Indonesia, Yogyakarta, ini prihatin dengan perkembangan tradisi musik Maluku yang mandek, dan sangat sedikit yang peduli.

Rence, yang suka musik klasik, pun bermimpi bisa membuat kelompok orkestra dari suling bambu. Ia mulai mengajak orang-orang di sekitarnya memainkan kembali suling bambu Maluku. Namun mimpi Rence tak mudah diwujudkan. Hanya sedikit yang tertarik.

Tetapi niat Rence sudah bulat. "Saya coba pakai pendekatan kultural ke mereka," katanya. Lelaki 45 tahun ini pun giat keluar-masuk kedai. Sambil minum kopi, Rence mengundang orang-orang bergabung dalam orkesnya. Awalnya, hanya lima orang yang berminat. "Mereka orang-orang yang sudah tua," Rence berkisah.

Dengan kondisi seadanya, kelompok kecil ini mulai berlatih. Alat musik, karena di toko tidak dijual, maka diproduksi sendiri. Bambu diolah dijadikan alat musik. Setiap nada dipastikan presisi dengan tunner. Agar seperti orkestra, jangkauan nada juga dibuat beda dalam lima kelompok suara. Register nada tinggi dipegang suara satu, nada menengah untuk suara dua dan tiga, terakhir nada rendah untuk suara empat dan lima.

Seiring latihan yang mulai kerap, anggota juga bertambah, namun tidak semua memiliki latar belakang dan pengetahuan musik yang sama. Maka, Rence harus mengajari bagaimana teknik bermusik. "Saya ajari satu-satu bagaimana cara menempelkan bibir ke suling, bagaimana cara meniup," ujar Rence, Anggota orkestra juga ternyata kesulitan membaca not balok. Maka dengan sabar, Rence menuliskan notasi angka di setiap lembar halaman not lagu.

Batu loncatan pun datang pada September 2005, ketika pejabat Wali Kota Ambon saat itu, menantang Rence dan komunitasnya tampil di perayaan hari jadi Kota Ambon ke-430. Penampilan perdana di depan publik itu ternyata mendapat sambutan positif. Kelompok yang baru beranggotakan 40 orang saat itu pun resmi bernama Molucca Bamboo Wind Orchestra.

Komunitas suling bambu Maluku ini juga semakin populer. Sejak 2007, mereka menjadi pengisi tetap pada setiap perayaan ulang tahun Kota Ambon. Pemerintah Kota Ambon juga menyediakan Gedung Taman Budaya sebagai tempat mereka berlatih. Dari situ, simpati dan keinginan bergabung dari masyrakat juga bertambah.

Saking banyaknya, Rence sampai tidak bisa lagi menerima anggota baru. "Masih ada 30-an orang yang mengantre untuk gabung," katanya. "Dulu saya yang mengajak orang ikut, sekarang mereka yang datang," Rence mengenang. Kini anggota Molucca Bamboo Wind Orchestra berjumlah 152 orang, 100 peniup suling, empat band, 10 perkusi, dan 38 paduan suara. Rence dibantu beberapa orang di manajemen untuk mengelola tim besar itu.

Anggota orkestra ini juga berasal dari berbagai latar belakang. Seperti dosen, mahasiswa, pegawai negeri sipil, penyadap nipar (gula aren), hingga tukang ojek. Mereka diterima tanpa memandang latar belakang agama. Rentang usianya pun bervariasi, paling tua 70 tahun dan termuda 11 tahun. Misi Rence menyatukan Ambon bangkit dari luka lama konflik 1998 pun terwujud.

Kehadiran generasi muda dalam kelompok juga membuat Rence bangga. Itu artinya suling bambu tidak akan mati. Di sisi lain, banyaknya personel juga membuat Rence leluasa berimprovisasi. Sebagai sutradara orkestra, ia mulai memadukan alat-alat musik tradisional di Maluku yang semakin terlupakan seperti totobuang (gong kecil) dan tifa.

Molucca Bamboo Wind Orchestra juga sempat diundang ke Istana Negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengundang mereka dalam peringatan kemerdekaan 17 Agustus tahun ini. Namun sukses itu bukan berarti tujuan sudah tercapai. Kesungguhan bermusik tetap dipertahankan, apalagi di sana banyak generasi muda yang perlu dididik.


Maka, latihan tiap malam pukul delapan itu tidak ada toleransi bagi yang terlambat. Bagi Rence, kedisiplinan penting dalam bermusik. "Musik juga punya sisi untuk membangun karakter, kan orang nggak bisa main sembarang, harus mengikuti ritme," ia menegaskan.

Kini, meski mengaku masih mengalami kesulitan dana untuk bisa melakukan pergelaran akibat bantuan dari pemerintah daerah minim, Rence tetap ingin mandiri. Seperti melakukan urunan sesama musisi agar bisa mengadakan pertunjukan dari honor yang disisihkan. Rence masih bermimpi orkestra suling bambu jadi daya tarik wisata budaya. Maka, ketika orkestra malam itu berlanjut memainkan lagu perjuangan, Halo-Halo Bandung, Rence tetap optimis, cita-citanya bisa terebut suatu hari. Ya, seperti semangat lagu yang dimainkan, "Mari bung rebut kembali!"

Mukhlison S. Widodo

 Foto-foto : Gatra /dokumentasi Molucca Bamboo Wind Orchestra

Astakona. Gatra Edisi 52 tahun 18 Tanggal 3 November 2012

No comments: