Friday, December 07, 2012

Tatkala Tas Lebih Besar Daripada Badan



Pemerintah menargetkan penerapan kurikulum baru pada tahun depan. Gonta-ganti kebijakan, meskipun niatnya baik, bisa merugikan.



Melebur pelajaran ilmu sosial dan ilmu alam jadi satu bisa membuat bingung para pengajar dan memicu opini negatif. Misalnya pendapat Nursilah, guru kelas V Sekolah Dasar Negeri Kalibata 08 Pagi, Jakarta Selatan. Menurut dia, jika dua pelajaran itu digabung, akan ada yang hilang. Terutama pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). "Sayang sekali. IPA penting untuk kehidupan sehari-hari," ungkapnya.

foto by dunia-uniks.blogspot.com
Fadhillah Hamid, Kepala Seksi Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan, juga masih bertanya-tanya mengenai rencana dihapuskannya mata pelajaran IPA dan ilmu pengetahuan sosial (IPS) untuk anak sekolah dasar (SD) itu. "Padahal, sains kan peletak dasar teknologi," katanya.

Penggabungan dua mata pelajaran tadi memang menjadi bagian rencana pemerintah untuk memperbarui Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006 yang berlaku saat ini. Sejumlah mata pelajaran yang ada di SD rencananya dikurangi dan jam pelajaran yang ada ditambah. Untuk kurikulum SD, misalnya, dari delapan mata pelajaran akan diubah menjadi enam saja.

Keenam mata pelajaran itu dibagi menjadi kelompok A dan B. Kelompok A terdiri dari mata pelajaran pendidikan agama, pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan (PPKN), bahasa Indonesia, serta matematika. Sedangkan muatan lokal dan pengembangan diri diintegrasikan dengan mata pelajaran kelompok B, yang terdiri dari dua mata pelajaran: seni budaya dan prakarya serta pendidikan jasmani dan kesehatan.

Jam pelajaran siswa yang mulanya 26 jam untuk kelas I, 27 jam untuk kelas II, 28 jam untuk kelas III, dan 32 jam untuk kelas IV, V, dan VI, diubah menjadi 30 jam untuk kelas I, 32 jam untuk kelas II, 34 jam untuk kelas III, dan 36 jam untuk kelas IV, V, dan VI.

Profesor Suyanto, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, menyatakan bahwa penyederhanaan jumlah mata pelajaran itu untuk menjawab keluhan masyarakat atas beratnya beban pelajaran anak SD. "Masak isi tasnya lebih besar daripada badan anak," kata Suyanto saat ditemui Hayati Nupus dari Gatra, Jumat lalu.

Meski dikurangi, Suyanto berharap, anak-anak SD kelak memiliki pengetahuan yang mendalam. Karena itu, jam pelajaran pun ditambah. "Mata pelajaran sebelumnya omongannya berat dan bervariasi. Konsep kurikulum yang baru disederhanakan, tapi diperdalam," ia menjelaskan.

Sedangkan untuk SMP, hanya muatan lokal dan pengembangan diri yang akan diintegrasikan pada mata pelajaran yang ada. "Sebenarnya untuk SMP dan SMA belum dibicarakan, baru kemarin draf awal dipaparkan dan minggu depan dibahas," kata Suyanto.

Mantan Rektor Universitas Negeri Yogyakarta itu menambahkan, perubahan kurikulum ini dilakukan agar relevan dengan tuntutan zaman. Sewaktu rapat bersama presiden mengenai pendidikan, banyak muncul persoalan, seperti nasionalisme, patriotisme, dan karakter, sehingga kurikulum perlu dikembangkan lagi.

Selain itu, kurikulum baru ini diharapkan mampu menyelesaikan masalah moral, seperti tawuran dan korupsi. Unsur ini akan dimasukkan melalui pendidikan agama dan PPKN dengan lebih intensif dan mendalam.

Saat ini, kurikulum baru itu sedang dibahas di internal kementerian dan dikonsultasikan kepada wakil presiden. Dalam proses perubahan kurikulum itu, menurut Suyanto, pihaknya juga melibatkan berbagai pakar, seperti Anies Baswedan, Juwono Sudarsono, Frans Magnis Suseno, dan Taufiq Abdullah. Tahun depan, kurikulum baru itu akan melalui uji publik dan diharapkan bisa efektif berlaku pada tahun ajaran baru 2013.

Suyanto membenarkan akan ada beberapa pelajaran yang digabung. Misalnya IPA dan IPS yang tidak akan lagi dipelajari murid SD. Dua pelajaran itu akan diintegrasikan pada mata pelajaran di kelompok A. Model pembelajarannya tematik, tidak dibahas menurut pohon ilmu masing-masing. "Jadi, IPA-IPS tidak dihapuskan, melainkan diintegrasikan pada empat mata pelajaran di kelompok A," Suyanto menjelaskan.

Misalnya, banjir bisa dilihat dari sisi pembelajaran agama, PPKN, bahasa Indonesia, ataupun matematika. Diharapkan siswa memiliki pemahaman yang komprehensif dan berhubungan satu sama lain, sehingga pemikirannya tidak terkotak-kotak.

foto by vi.sualize.us
Kontroversi lain mengenai kurikulum baru ini adalah dihapuskannya mata pelajaran bahasa Inggris di SD. Namun, menurut Suyanto, bahasa Inggris tidak dihapus, karena sejak awal bahasa Inggris memang tidak masuk kurikulum. Sejumlah SD memasukkan bahasa internasional ini sebagai muatan lokal. "Yang dihapus apanya kalau memang barangnya tidak ada. Kalaupun ada, itu muatan lokal, bukan kurikulum yang berskala nasional," ujar Suyanto.

Ini artinya, sekolah dasar yang telah memberlakukan pelajaran bahasa Inggris bisa saja tetap memberikannya kepada murid. Dalam hal ini, bahasa Inggris tidak wajib diberikan atau bisa menjadi pelajaran tambahan.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Sulistyo, berpendapat positif tentang kurikulum baru ini. Namun, ia mengingatkan, sistem yang rencananya diterapkan pada 2013 itu bisa menjadi bumerang jika guru tidak memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. "Kurikulum berganti, buku dicetak baru, tapi kalau gurunya nggak disiapkan, kan susah," katanya kepada Edmiraldo Siregar dari Gatra.

Menurut Sulistyo, seringkali pergantian kurikulum di Indonesia membutuh proses panjang untuk dipahami para pengajar. Masalahnya ada pada sistem sosialisasi yang tidak efektif dan tidak berjalan baik. "Kurikulum yang sekarang juga baru mulai dipahami, tapi sudah mau ganti lagi," ujar Sulistyo.

Sementara itu, adanya pengetatan jumlah mata pelajaran, seperti isu tidak adanya pelajaran bahasa Inggris, malah berdampak pada nasib guru. Menurut Sulistyo, saat ini kebanyakan guru bahasa Inggris di tingkat SD masih berstatus honorer. Dengan adanya wacana evaluasi kurikulum itu, telah ada pemecatan sejumlah guru bahasa Inggris di beberapa daerah. "Selalu ada yang dirugikan dari munculnya kebijakan baru," ungkapnya.

Sulistyo menyatakan, perubahan kurikulum bisa saja berefek positif seperti di sektor bisnis, tapi bisa berefek negatif bagi pendidikan itu sendiri. Para penerbit buku pelajaran akan berlomba mencetak buku sesuai dengan kurikulum baru, tapi terkadang menyesatkan. "Bisa saja yang baru hanya sampulnya, isinya tetap yang lama," katanya.

Mukhlison S. Widodo

Gatra Edisi 1 tahun 19 10 November 2012

foto 

No comments: